HOT PROMO


WARUNG CEKER PINDAH LOKASI! Kunjungi lokasi baru Warung Ceker di Kompleks Restoran Everyday, Jl. Prof. DR. Satrio No. 21 - Belakang Wisma Metropolitan - Karet Kuningan, Jakarta

Sunday, May 28, 2006

WARUNG CEKER PEDULI DJOKJA



Donasikan pakaian pantas pakai, selimut, makanan kering, dan minuman botol untuk membantu para korban bencana alam di DJOKJA dan sekitarnya.

Bantuan dapat dikumpulkan melalui outlet-outlet warung ceker sbb:

PETAMBURAN
Jalan Petamburan i / 7
Tanah Abang
Jakarta Pusat

FOOD COURT 1 Lantai 4 No. 25
Mal Ambassador
Kuningan
Jakarta Selatan

Penerimaan mulai 28 Mei 2006 - 03 juni 2006

Sasaran adalah daerah GANJURAN, BANTUL, YOGYAKARTA






Friday, May 19, 2006

Catatan Harian Warung Ceker : Bagian 2

MENAPAK TITIAN BERBEDA



Oleh : Yones K. Pellokila



”apa? Buka warung?” nada suara ayahanda di telpon terdengar keras dan meninggi, saat saya mengabarkan bahwa saya telah berhenti kerja sebagai pekerja kantoran lalu mulai merintis usaha makanan dan minuman. Bagi ayahanda – yang adalah putra sulung seorang Kepala Suku – urusan makanan dan minuman merupakan urusan perempuan. Sebagai cucu seorang Kepala Suku, saya diharuskan menjadi seorang lelaki sejati sebagaimana tradisi suku yang diwariskan turun temurun. Transformasi tanggung-jawab, peran, fungsi dan tugas tradisional para lelaki di suku saya mengikuti transformasi sosial yang terjadi, yakni tradisional agraris ke industri modern harus tetap berada dalam koridor sebagai ”lelaki”. Misalnya menjadi guru, pendeta, PNS, lawyer, dan lainnya. Karena itulah, ayahanda mendukung saya masuk Fakultas Hukum guna menjadi seorang lawyer atau hakim atau jaksa. Bukan masuk ke sekolah perhotelan dengan bidang studi makanan dan minutan. Dalam tradisi suku, urusan makanan dan minuman di dapur merupakan urusan domestik perempuan – bukan laki-laki seperti saya. Apalagi saya menyandang gelar Sarjana Hukum – yang dikalangan suku saya sangat dihormati dan disegani. Karena itu, ayahanda menjadi gusar saat saya mengabarkan alih profesi saya menjadi pengusaha makanan dan minuman berbendera WARUNG CEKER.



Guna meredam kemarahan ayahanda, saya cepat-cepat meralat kata WARUNG menjadi RESTORAN. Dengan harapan ayahanda dapat menerima rencana alih profesi saya. Bagi ayah, memiliki restoran masih lebih baik daripada warung. Bagi ayah, seorang pemilik restoran membawa image bonafitas yang dapat dia banggakan di lingkungan keluarga, suku dan juga sekitarnya. Bagi ayah, warung identik dengan tempat makan yang kumuh, tidak berkelas dan jorok sebagaimana warung-warung pinggir jalan di kota kelahiran saya. Restoran identik dengan tempat makan yang bersih, bonafit, berkelas dan ”wah. Karena itu saya cepat-cepat menjelaskan kepada ayah bahwa bisnis saya adalah restoran. Warung hanya nama semata yang justru dipertanyakan oleh ayah ”mengapa tidak beri nama RESTORAN CEKER saja” mengapa pake nama Warung?. Untuk tidak memperpanjang debat per telpon, saya akhirnya katakan pada ayah ”usulan perubahan nama dari ayah akan saya diskusikan dengan rekan bisnis saya dulu”. Walau masih “ngedumel” dan memberi nasehat panjang lebar, di akhir pembicaraan telpon kami, ayah akhirnya merestui rencana usaha saya dengan beberapa catatan. Selesai dengan ayah, saya harus bicara lagi dengan ibunda untuk menjelaskan dan menanyakan beberapa hal teknis yang saya perlukan dalam pengolahan makanan dan minuman, penanganan pasca pengolahan serta rekruitmen karyawan Warung Ceker. Berbeda dengan ayah, ibu sangat mengerti usaha baru yang dirintis oleh saya dan mitra bisnis. Sebagai seorang ahli masak yang sering menjadi Kepala Dapur Umum ataupun di pesta-pesta pernikahan dan juga kematian, ibu adalah seorang koki profesional. Mungkin saja ide usaha makanan dan minuman itu berasal dari salah satu gen yang saya warisi dari ibunda?. Sang khalik dan alam yang menyimpan jawabannya. Namun, itulah kata tanya yang selalu hadir pada hari-hari perenungan ku, saya selalu bertanya kepada diri sendiri “apa yang mendorong saya untuk alih profesi menjadi seorang enterprenur makanan dan minuman” yang jauh dari transformasi peran, fungsi dan tugas para lelaki di suku saya?, berbeda 180% pula dengan kerja saya dulu sebagai seorang aktivis dan officer.



Walau selalu diikuti oleh jejak tanya yang tak berkesudahan dan juga berbagai nasehat ayah tentang “menjadi seorang lelaki sejati sebagaimana para lelaki di suku saya”, tekad menjadi seorang enterprenur makanan dan minuman sudah tak tergoyahkan. Apalagi saya mendapatkan seorang mitra bisnis yang juga jago makan enak dan memiliki kapasitas mendisain konsep dan promosi yang handal. Rencana bisnis Warung Ceker dimulai oleh suatu diskusi panjang tentang berbagai peluang bisnis yang mungkin dilakukan. Bisnis Warnet, Wartel, Garmen, Snacks, Makanan dan Minuman hingga EO kami list dan analisis. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengambil bisnis makanan dan minuman. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bisnis makanan dan minuman apa? Yang unik, yang berbeda, yang sepesial. Pertanyaan itu memunculkan berbagai jenis usaha makanan dan minuman yang berpeluang kami kerjakan. Satu demi satu kami diskusikan dan analisis di saat-saat bertemu after officer hours. Cafe, mall, gym hingga rumah menjadi tempat pertemuan kami mendiskusikan rencana bisnis makanan dan minuman hingga pada suatu hari – setelah rangkaian perjalanan panjang diskusi – kami sepakat menggunakan CEKER AYAM sebagai bahan pokok bisnis makanan dan minuman yang akan kami bangun dan tekuni. Setelah itu, rencana dan konsep bisnis pun dibuat. Tahap demi tahap rencana itu mulai dijalani di sela-sela kesibukan kami sebagai pekerja kantor. Riset pasar sekitar 3 bulan, berburu resep masakan ceker dan juga jus, melakukan ujicoba, membuat modifikasi sampai dengan test food ke teman-teman kantor maupun para tetangga di sekitar rumah tinggal, membuat rencana budget, disain furniture, mendiskusikan dan menyepakati nama hingga logo merupakan beberapa tahapan yang saya dan mitra bisnis lalui dalam menapak titian baru, yakni titian bisnis makanan dan minuman.



Langkah demi langkah membangun bisnis Warung Ceker kami jalankan dan tangani sendiri untuk mengetahui dinamika bisnis kami, termasuk berbagi peran dan tugas. Tugas mendisain logo, bentuk dan warna furniture, interior Warung hingga warna dinding menjadi tugas rekan bisnis saya. Saya bertugas mendisain budget, membuat beberapa skema perkiraan BEP, ujicoba resep dan merekrut karyawan. Penentuan resep makanan dan minuman serta menu dilakukan bersama oleh kami berdua – yang memadukan pengetahuan, keahlian dan pengalaman berbeda kami dalam hubungannya dengan makanan dan minuman yang pernah kami cicipi di berbagai tempat. Beberapa peran dan tugas yang kami prediksi akan harus dilakukan setelah launching Warung Ceker pun dibagi antara kami berdua. Tugas sebagai manager operasional, keuangan dan pembukuan, marketing dan promosi merupakan tanggung-jawab selanjutnya yang harus kami kerjakan saat Warung Ceker mulai beroperasi. Awalnya, saya mendapatkan peran dan tugas sebagai manager operasional. Lalu rekan bisnis saya mendapatkan peran dan tugas keuangan dan pembukuan. Sementara penjualan dan promosi kami lakukan bersama. Dalam perjalanannya, mitra bisnis saya akhirnya fokus di penjualan dan promosi, sementara saya di operasional harian, keuangan dan pembukuan.



Warung Ceker didisain sebagai suatu resto alternatif menyediakan makanan khusus yang diolah menggunakan campuran berbagai rempah HALAL serta menyediakan aneka jus buah hasil modifikasi yang menekankan cita rasa original berkualitas terbaik yang dijual dengan harga terjangkau bagi semua kalangan. Mengurus Warung Ceker membuat saya menjadi seorang manager yang sebenarnya, sekaligus belajar melakukan pembukuan dan pengelolaan keuangan. Berjalan bersama dinamika harian Warung Ceker meberikan banyak pelajaran baru, termasuk belajar membuat cash flow, neraca, foods stock, mencari karyawan, membuat JobDes, memberi briefing, training, dstnya. Interaksi dan relasi intensif dengan para karyawan membuat saya mengenal karakter unik masing-masing karyawan yang sangat berguna dalam menghadapi perilaku mereka masing-masing. Sedikit demi sedikit, sistem manajamen Warung Ceker mulai terbentuk dan berjalan. Setelah memasuki bulan kedua operasi, sistem Warung Ceker mulai berjalan sehingga saya mulai kelebihan waktu luang yang tidak saya peroleh di awal Warung Ceker mulai beroperasi. Pada bulan kedua, 5 karyawan Warung Ceker telah dapat menjalankan operasional harian Warung Ceker. Saya dan rekan bisnis saya hanya sesekali saja melakukan kontrol dan briefing untuk memastikan kualitas layanan, kelezatan, higienitas serta kualitas makanan dan minuman Warung Ceker terjaga dengan baik. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman Warung Ceker sangat dijaga kebersihannya sehingga kontak langsung dengan manusia sangat diminimalkan guna menghindari kontaminasi yang akan mengakibatkan perubahan warna, bentuk dan rasa. Peralatan pengolahan makanan dan minuman dipisah secara tegas agar tidak terjadi pencampuran rasa yang menurunkan kualitas makanan ataupun minuman Warung Ceker.



Betapa gembiranya saya dan rekan bisnis, saat bulan pertama beroperasi, pasar memberi respon positif terhadap keberadaan Warung Ceker, termasuk di lingkungan pemukiman tempat tinggal sekaligus tempat usaha Warung Ceker berada. Teman-teman jaringan saya dan juga teman-teman mitra bisnis saya menjadi pembeli dan pelanggan Warung Ceker. Kehadiran Warung Ceker mengakibatkan saya mendapat sebutan baru di lingkungan tempat usaha yang merangkap sebagai tempat tinggal maupun di lingkungan teman-teman. ”BOS” Warung Ceker demikian label baru yang digunakan para tetangga dalam memanggil saya – berubah dari sebutan OM atau PAK yang digunakan oleh mereka pada bulan-bulan pertama saya tinggal di lingkungan baru itu. Perubahan sebutan itu sebangun juga dengan perubahan sikap mereka dari cuek menjadi orang-orang ramah dan terbuka. Berbeda jauh dengan sikap mereka pada bulan-bulan pertama saya berada di lingkungan baru tersebut. Beberapa teman di jaringan kerja saya juga mulai menggunakan sebutan ”JURAGAN” untuk meledek atau bercanda saat kami bertemu. Para karyawan bisnis sejenis di Foodcourt I Mal Ambasador juga menggunakan sebutan yang sama saat bertemu saya. ”pagi bos, bos mau pesan teh botol?, bos lu ada?, bos ada undangan pernikahan tetangga, bos, kami mau titip kerupuk, bos sedang tidur, bos kalian ga datang?”... demikian potongan-potongan kalimat yang sering saya dengar langsung ataupun tidak langsung. Awalnya saya sangat risih dipanggil BOS – yang digunakan oleh anak kecil sampai dengan para orang tua. Saya merasa diledek dan dicandain, namun seiring perjalanan waktu, saya mulai terbiasa. Saya juga mulai belajar mengenal tekanan nada yang digunakan saat sebutan itu dilantunkan. Nada canda, nada ledek, nada ejek, nada segan, nada hormat, nada standar karena kebiasaan semata – mulai saya kenali dari tekanan intonasi suara saat sebutan itu menghampiri kuping. Sementara itu, di lingkungan internal Warung Ceker, saya dipanggil ”BAPAK” oleh para karyawan. Sebutan yang juga aneh bagi saya karena saat masih berstatus pekerja kantoran, saya meminta mereka yang lebih muda untuk memanggil saya dengan sebutan ”ABANG” saja, tidak menggunakan sebutan ”PAK ataupun BAPAK”.



Menapak titian bisnis makanan dan minuman menghadirkan saya ke realita dinamika sosial yang sebenarnya. Iri, dengki, hormat, segan, bersaing, saling sikut, penggunaan penglaris, klenik sampai berurusan dengan aparat Pemda terkait pada pajak reklame, pajak makanan dan minuman hingga munculnya berbagai undangan acara pernikahan, amal dan lainnya merupakan realitas baru yang harus saya hadapi. Hilang sudah rutinitas jam kantor, perjalanan ber-mil-mil menggunakan fasilitas pesawat, mobil carteran, hotel – yang semuanya dibayar kantor. Hilang sudah rutinitas membaca proposal, budget dan laporan-laporan proyek. Hilang sudah kebiasaan membaca buku berjam-jam. Hilang sudah kunjungan rutin ke toko-toko buku. Hilang sudah keramaian dering telpon di hari-hari kerja dari berbagai penjuru yang menanyakan progres proposal, pengiriman dana, negosiasi dan lobi program. Hilang sudah berbagai undangan meeting, lokakarya, seminar. Hilang sudah semua basa basi proyek dari donor sampai ke komunitas-komunitas yang membutuhkan.



Bulan pertama operasi Warung Ceker diisi oleh kesibukan-kesibukan baru. Menemani karyawan ke pasar, mengurus layanan pesan antar, membuat pembukuan hasil penjualan, inspeksi pengolahan makanan, perlakuan pasca pengolahan, pembuatan jus yang higienes, layanan pembeli, ujicoba resep dan men� baru, briefeing karyawan, urusan pajak dan lainnya saya jalan dengan penuh gairah. Saat sistem mulai berjalan di bulan kedua, waktu luang tersedia melimpah. Mulailah kesibukan baru mengurus diri sendiri. Tidur siang, menghabiskan waktu di gym, sauna, renang, senam, jalan-jalan ke mal untuk mencari peluang bisnis baru merupakan beberapa diantara kesibukan baru mengisi waktu luang tersebut. Memasuki bulan ketiga, kebosanan mulai menyergap. Saya butuh kesibukan baru, kerinduan terhadap rutinitas kerja sebelumnya mulai menohok tiada henti. Kerinduan terhadap teman-teman jaringan kerja sebelumnya sering menggapai. Apalagi, di 2 bulan terakhir, teman-teman di jaringan kerja sebelumnya seperti mulai menjauh – yang menimbulkan ribuan tanya tak berkesudahan di kala sepi bersua kesendirian dalam pelukan malam. Hampir tiada lagi komunikasi jika saya tidak menghubungi mereka. SMS pun mulai jarang dibalas hingga terhenti sama sekali. Hal-hal tersebut menghadirkan tanya dan tanya tentang ribuan kemungkinan. Mungkin mereka sibuk?, mungkin saya bukan bagian dari komunitas mereka lagi, mungkin pertemanan kami hanya karena kepentingan pekerjaan semata, mungkin ada gosip negatif yang beredar tentang saya... mungkin.... mungkin... dan mungkin.... bosan me-reka-reka, saya akhirnya menjadi tidak peduli lagi... lebih baik saya mengurusi bisnis saya dan mencari kerja baru untuk mengisi hari-hari luang saya daripada saya harus berkubang kesedihan memikirkan teman-teman saya yang mungkin hanya menganggap saya sebagai angin lalu disaat kami bersama?. Atau mungkin saya yang terlalu sensitif, apalagi adanya tekanan psikologis sepinya bisnis di akhir bulan kedua. Tentu saja tidak semua semua teman menjauh atau menghilang. Masih ada beberapa gelintir teman yang setia menjadi pelanggan dan juga sukarelawan mempromosikan makanan dan minuman Warung Ceker untuk acara meeting, ulang tahun, dan lainnya. Terima kasih untuk kalian yang telah menjadi my true friends.



Seiring dengan itu, di akhir bulan kedua, muncul pula tantangan lain yang sangat signifikan dan tidak terduga, yakni sepi-nya pembeli yang bersantap di tempat. Padahal keberadaan dan kesetiaan pembeli – yang lalu menjadi pelanggan – merupakan kunci sukses bisnis makanan dan minuman. Para pembeli dan pelanggan dari sekitar lingkungan usaha Warung Ceker menghilang satu per satu tanpa diketahui sebab musababnya. Menghadapi kondisi tersebut, kami melakukan evaluasi terhadap semua aspek usaha Warung Ceker. Jawabannya adalah pada faktor sosial setempat yang tidak diperhitungkan saat rencana bisnis Warung Ceker didisain. Memulai resto alternatif di suatu lingkungan baru, apalagi lingkungan pemukiman bukanlah pilihan yang tepat. Interaksi, relasi, status sosial dan berbagai label sosial lainnya yang melekat pada seseorang karena kelahirannya sangat berpengaruhi signifikan terhadap kedatangan pembeli di lingkungan sekitar. Di suatu lingkungan pemukiman yang adalah tempat tinggal baru sekaligus tempat bisnis, pengolahan makanan dan minuman dengan cara-cara higienis dan HALAL lalu menjualnya dengan harga terjangkau, layanan berkelas, fresh dan higienis hanyalah faktor penunjang semata. BUKAN PENENTU kehadiran pembeli. Faktor sosial setempat adalah PENENTU kehadiran pembeli dari lingkungan sekitar. Inilah yang tidak diperhitungkan saat mendisain bisnis Warung Ceker. Dari itu, kami belajar bahwa bisnis makanan adalah bisnis yang secara sosial sangat sensitif. Latar belakang dan berbagai label sosial pemilik dan juga koki merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam disain bisnis makanan dan minuman jika tempat usaha ditempatkan di suatu lingkungan pemukiman yang berlatar belakang sosial berbeda. Andai sejak awal faktor tersebut diperhitungkan atau kami memiliki pengalaman tentang hal tersebut, maka bisnis Warung Ceker tidak akan mengambil resiko menggabungkan tempat tinggal dengan tempat usaha di lingkungan pemukiman seperti yang terjadi saat ini. Tantangan lain adalah persaingan usaha sejenis yang terlebih dahulu hadir di lingkungan setempat – yang berusaha memenangkan persaingan menggunakan segala cara. Faktor-faktor sosial itu tidak diperhitungkan dalam disaian Warung Ceker. Karena itu, bisnis Warung Ceker ditempatkan di lingkungan setempat saat ini. Seandainya, faktor-faktor sosial itu telah diperhitungkan sebelumnya, maka pemilihan lokasi bisnis dipastikan akan berbeda dengan yang sekarang. Karena bisnis makanan dan minuman sangat sensitif, apalagi jenis bahan baku utama adalah ceker ayam, maka kami pasti memilih lingkungan sosial yang moderat dan terbuka menerima keberagaman dan perbedaan. Walau tentu saja keberadaan Warung Ceker saat ini didukung oleh orang-orang dari latar belakang sosial pluralis (silahkan baca bagian 3 : MENGUNTAI KEBERAGAMAN HADAPI TANTANGAN), namun dasar pluralistik itu bukanlah jaminan lancarnya berbisnis di lingkungan sosial yang tidak moderat dan juga merasa tersaingi.



Kata para tetua ”pengalaman adalah guru yang bijak” serta hanya ”keledai yang terantuk pada batu yang sama”. Tiadanya pengalaman bisnis serius pada saya dan rekan telah mengakibatkan kami harus menghadapi faktor sosial tersebut yang tidak kami perhitungkan sebelumnya. Bagi pembeli dari luar, tempat parkir dan kemudahan akses merupakan faktor penentu juga. Ketiadaan tempat parkir dan akses yang tidak mudah, apalagi berada di lingkungan pemukiman mengakibatkan para pelanggan Warung Ceker yang mayoritas adalah kelas menengah perkantoran menjadi enggan berkunjung dan nongkrong di Warung Ceker. Mereka lebih suka dilayani dengan cara PESAN ANTAR. Walau mereka harus mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp. 20.000,- sebagai ongkos kirim, para pelanggan setia tersebut dengan senang hati merogoh koceknya. Hari demi hari, mayoritas pembeli berasal dari kalangan menengah perkantoran yang menggunakan fasilitas PESAN ANTAR melalui saya atau mitra bisnis atau melalui telpon 93 6772 93 yang disediakan untuk layanan pesan antar tersebut.



Menyadari kondisi itu, Warung Ceker lalu menggiatkan promosi dan layanan pesan antar. Upaya lain adalah membuka cabang pertamanya di Foodcourt I, Mal Ambasador pada tanggal 21 April 2006. Sementara tempat layanan di lingkungan pemukiman difokuskan sebagai tempat produksi dengan masih memberikan layanan santap di tempat atau beli bawa. Namun karena sepi-nya pembeli yang bersantap di tempat, maka alokasi yang disiapkan di tempat layanan utama diciutkan agar tidak terjadi kelebihan produksi yang berdampak pada tingginya biaya produksi. Padahal tempat usaha yang terletak di Jl. Petamburan 1 No 7 Tanah Abang, Jakarta Pusat tersebut merupakan tempat layanan utama yang disiapkan khusus menggunakan furnitur dan peralatan makan minum yang berkelas dan berkualitas guna kenyamanan dan kenikmatan pembeli bersantap di tempat.



Seiring dengan dinamika perjalanan Warung Ceker di akhir bulan ke 2 nan sepi, berbagai usaha promosi pun dilakukan oleh mitra bisnis saya. Misalnya dengan mengaktifkan komunikasi Warung Ceker dengan para friends-nya di www.friendster.com/profiles/warungceker; membuat blog Warung Ceker, meloby teman-temannya untuk menjadi Koordinator Pesan Antar di kantor masing-masing dengan KOMISI 10% sebagai passive income dan seterusnya, termasuk membuka cabang di Foodcourt I, Lt. 4 Mal Ambasador. Berbagai upaya tak kenal lelah itu belum membuahkan hasil signifikan. Namun, biaya operasional mulai bisa ditutupi oleh pembelian melalui layanan pesan antar maupun hasil penjualan di Foodcourt 1 Mal Ambasador. Teman-teman Warung Ceker di friendster pun mulai mendatangi dan mencicipi makanan dan minuman Warung Ceker di Foodcourt 1 Mal Ambasador. Dari catatan pembelian yang mereka lakukan selalu bernilai Rp. 50.000,- ke atas dengan komentar ENAK dan indikator LUDES TUNTAS. Dari awal mencoba lalu mulai sering membeli sampai akhirnya menjadi pelanggan setia Warung Ceker. Pembeli lain yang berawal dari coba-coba semata akhirnya malah menjadi fans berat Warung Ceker. Bahkan ada pembeli yang setiap datang selalu mencoba 1 per satu menu makanan dan minuman Warung Ceker. Ada pula pembeli yang dengan setia membeli Ceker Dim Sum setiap kali menghampiri counter Warung Ceker di Foodcourt 1 Mal Ambasador. Pada saat Ceker Dim Sum habis terjual, maka pembeli tersebut rela kembali esok hari hanya untuk mendapatkan Ceker Dim Sum yang diinginkannya. Saat disarankan membeli Ceker Dim Sum di counter tetangga, dia hanya berkomentar ”ntar rasanya beda”. TERIMA KASIH Pembeli. TERIMA KASIH PARA PELANGGAN SETIA. Sementara itu, pesan antar mayoritas didominasi oleh puluhan staf Mal Taman Anggrek. Mereka bahkan mengalokasikan hari Selasa sebagai hari khusus bersantap makanan dan minuman Warung Ceker. TERIMA KASIH untuk para pembeli dan pelanggan yang telah berkontribusi bagi kelangsungan hidup Warung Ceker dan para karyawannya.



Perjalanan dinamis Warung Ceker merupakan tantangan luar biasa bagi pebisnis baru seperti saya dan mitra bisnis. Sepinya pembeli sering menyakitkan karena makanan dan buah yang disediakan untuk jus harus dibuang demi menjaga cita rasa dan kualitas. Karyawan juga menjadi lesu dan tidak bersemangat. Hal-hal tersebut menjadi resiko bisnis sekaligus tantangan yang harus dihadapi dan dicari solusinya. Saya dan mitra bisnis harus tabah dan harus sering menguatkan para karyawan dan juga koki agar mereka tidak down karena sepinya pembeli. Mereka selalu bertanya kepada saya ”apa yang salah dengan makanan dan minuman serta pelayanan kami sehingga pembeli sepi?”. Saat sepi-nya pembeli bersua minggu, mulai muncul gosip diantara karyawan tentang ”adanya kekuatan supranatural alias klenik yang digunakan pesaing untuk mematikan bisnis Warung Ceker”. Para karyawan berusaha membuktikan kebenaran gosip mereka dengan memberikan bukti-bukti, seperti : nasi yang di masak pagi hari telah basi dan berbau di sore hari. Meledaknya botol minuman yang dipegang seorang karyawan. Munculnya bau kemenyan dan bangkai di pagi hari dan menjelang magrib dan lainnya. Para karyawan berusaha meyakinkan saya untuk melakukan saran mereka, yakni mendatangi ”orang-orang pintar” di gunung Kawi, di Muntilan, di Kroya, di Lampung dan lainnya – nama-nama yang baru saya dengar dan mulai akrab di telinga karena sering diomongin para karyawan. Menghadapi gosip dan usul saran karyawan tersebut, saya justru menyarankan mereka untuk mendekatkan diri kepada sang Khalik. Karyawan muslim saya minta untuk rajin Sholat dan Jumatan serta sembahyang Tahajud. Bagi karyawan Kristen saya minta untuk memperbanyak doa dan rajin menghadiri ibadah-ibadah minggu di gereja masing-masing. Saya selalu menguatkan dan memotivasi mereka bahwa ”kondisi itu adalah dinamika usaha yang harus kita hadapi bersama. Ketabahan dan kerja keras akan berbuah suatu saat nanti – lambat atau cepat”. Saran saya malah ditimpali dengan komentar ”eh bapak ga percaya?, semua pedagang pasti pake penglaris”. Saya hanya tersenyum dan tertawa kecil menghadapi komentar-komentar pendek tersebut. Saat hal-hal itu saya sampaikan ke mitra bisnis saya, kami justru jadi memiliki cerita lucu untuk dibahaki bersama, ha ha ha ha... Kepada para karyawan saya juga minta mereka mengisi luangnya dengan membaca buku, majalah dan juga novel-novel yang tersedia di perpustakaan kecil saya. Komentar mereka ”sudah dicoba, tapi malah jadi ngantuk dan males”. Kata saya, ”coba lagi terus menerus sampai kalian terbiasa, untuk mengsi waktu luang kalian daripada bergosip ga tentu arah”.



Di saat-saat seperti itu, saya berusaha menjadi seorang ayah bijak sekaligus manajer profesional bagi para karyawan. Saya harus juga memberi contoh kepada mereka. Untuk itu, saya mulai mengubah cara hidup dan cara pikir rasional saya menjadi agamis. Saya mulai rajin menghadiri ibadah-ibadah minggu di gereja, apalagi mitra bisnis saya tiada lelah mengingatin saya setiap hari minggu untuk menghadiri ibadah minggu – yang telah saya abaikan puluhan tahun lamanya. Perubahan itu saya lakukan dan saya amini sebagai konsekuensi dari tanggung-jawab dan peran baru saya sebagai seorang ayah bijak sekaligus manajer profesional bagi para karyawan Warung Ceker. Jika saya tidak memberikan contoh, maka dapat dipastikan bahwa nasehat saya tentang rajin sholat, jumatan dan gereja akan sia-sia terbawa angin lalu. Toh sebagai seorang rasional yang memiliki banyak referensi, terutama buku-buku Karen Amstrong membantu saya menemukan landasan terhadap cara hidup dan cara pikir saya dari seorang rasional logis mengarah ke suatu cara pikir dan cara hidup yang agamis melalui kembali menjalankan berbagai ritual keagamaan sebagaimana saya lakukan di masa kecil dan remaja.



Dalam buku ”Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi”, Karen Amstrong menulis ” manusia harus hidup dalam 2 dunia untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Dunia Mitos dan dunia Logos. ”Keduanya penting. Keduanya dianggap saling melengkapi dalam mencapai kebenaran, dan masing-masing memiliki kelebihan. Mitos dianggap utama karena berkaitan dengan sesuatu yang dianggap abadi dan selalu ada dalam eksistensi kita. Mitos melihat kembali asal usul kehidupan, dasar kebudayaan dan tingkatan terdalam dalam pikiran manusia. Mitos berurusan dengan makna dan tidak berurusan dengan masalah-masalah praktis. Manusia akan mudah jatuh ke dalam keputusasaan jika mereka tidak menemukan makna dalam hidup mereka. Mitos dalam suatu masyarakat memberi manusia konteks yang membuat kehidupan rutin mereka menjadi masuk akal...”. ”... mitos juga terkait dengan mistisisme, sebuah jalan menelusuri kejiwaan melalui penggunaan aturan-aturan terfokus yang terstruktur (aturan-aturan yang berkembang di semua kebudayaan sebagai alat untuk meraih hikmah intuitif). Tanpa praktek mistis, mitos agama menjadi tidak masuk akal”. ”... Logos juga sama pentingnya. Logos adalah pemikiran rasional , pragmatis dan ilmiah yang memungkinkan manusia berfungsi dengan baik di dunia... tidak seperti mitos, agar bisa efektif, logos harus berkaitan persis dengan fakta-fakta dan bersesuaian dengan realitas eksternal... Kita menggunakan penalaran logis dan diskursif jika kita ingin mewujudkan sesuatu, menuntaskan pekerjaan atau membujuk orang lain melakukan tindakan yang sama. Logos bersifat praktis. Tidak seperti mitos yang merujuk ke belakang pada awal mula dan fondasinya. Logos terus melompat ke depan dan berusaha menemukan hal baru: mengelaborasi tradisi lama, memperoleh kendali yang lebih besar terhadap lingkungan, menemukan sesuatu yang segar dan menciptakan sesuatu yang baru”, (Mizan, 2000).



Selain kembali menjalani ritual-ritual keagamaan, saya dan mitra bisnis mempelajari banyak referensi bisnis yang memampukan kami menjadi kreatif dan penuh inisiatif memunculkan cara-cara promosi bisnis Warung Ceker. Kadang cara-cara tersebut sangat gila dilihat dari sudut pandang saya sebagai seorang pekerja kantor masa lalu. Ide-ide marketing yang belum pernah saya bayangkan saat bekerja sebagai seorang officer. Belum lagi, persaingan bisnis makanan dan minuman yang sangat ketat mengharuskan setiap pebisnis makanan dan minuman harus kreatif mencari pembeli. Berbeda dengan kerja sebagai officer yang setiap bulan pasti terima gaji sehingga kadang membuat saya malas berpikir alias pasif mengerjakan kerja-kerja rutin kantor semata. Seorang pebisnis haruslah kreatif, dinamis, bermotivasi tinggi, memiliki beberapa rencana bisnis untuk antisipasi situas dan juga harus bermental baja hadapi berbagai tantangan yang sangat besar, luas dan beragam. Jika semua itu bisa dihadapi dan diubah menjadi motivasi, maka buah-buah capaiannya akan berlimpah. Misalnya, waktu luang yang sangat banyak untuk memunculkan ide dan konsep bisnis baru, untuk berolah-raga, untuk clubbing, untuk traveling, untuk menulis, dllnya. Namun untuk meraih semua itu diperlukan kreatifitas, mental baja dan KERJA KERAS yang didukung oleh suatu tim kerja pluralis yang solid serta manajemen operasional, administrasi dan keuangan yang profesional. Dengan demikian, pada akhirnya, HIDUP PEMBUAT SALURAN PIPA akan berbeda dengan HIDUP PEMBAWA EMBER.



Berbisnis ibarat membuat saluran pipa untuk mengalirkan air dari sumbernya ke pemukiman yang membutuhkan. Pembuatan saluran pipa memerlukan sejumlah persiapan dan kerja keras. Dalam implementasinya, banyak pula tantangan yang harus dihadapi. Kerasnya cadas, naik turunnya permukaan tanah, panas mentari, keseraman rimba raya, ancaman binatang buas hingga hewan berbisa maupun sengatan serangga merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para pembuat saluran pipa. Jika semua tantangan itu mampu dihadapi hingga pembuatan saluran pipa selesai dan air mengalir deras ke pemukiman, maka pembuat saluran pipa akan hidup bahagia dan makmur. Tantangan paling sulit dan pasti adalah menghadapi para pembawa ember. Karena kehidupan kita adalah hidup dalam dunia pembawa ember, demikian pesan seorang penulis yang bukunya selalu menemani hari-hari sepi ku.